WELCOME

Selamat datang fren... Selamat bergabung semoga menyenangkan...

Selasa, 16 Juni 2009

Indonesia sejak 1945 - 2009 memiliki 8 Presiden

64 Tahun sudah Indonesia merdeka sejak 17 Agustus 1945 s/d sekarang, pemahaman yang muncul dalam sejarah bangsa Indonesia adalah bahwa Presiden yang memimpin bangsa ini (Republik Indonesia) berjumlah 6 presiden yaitu Ir. Soekarno, H.M. Soeharto, Prof. Dr.Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Dr (HC) Hj. Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri, dan sekarang Presiden DR.H. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, menurut sejarah, sebenarnya Indonesia memiliki lebih dari 6 Presiden, tepatnya 8 Presiden. Mari kita kupas fakta-fakta berikut ini:

Presiden I periode 1945 - 1966 yaitu, Ir. Soekarno (Bung Karno) dan wakil presiden yaitu Dr. Muhammad Hatta (Bung Hatta).

Pemerintahan Darurat RI (Presiden Mr. Syafruddin Prawiranegara dan Wakil Presiden Mr. T. M. Hassan)

Pada 19 Desember 1948, saat Belanda melakukan agresi militer II dengan menyerang dan menguasai ibu kota RI saat itu di Yogyakarta, mereka berhasil menangkap dan menahan Presiden Soekarno, Moh. Hatta, serta para pemimpin Indonesia lainnya untuk kemudian diasingkan ke Pulau Bangka.

Kabar penangkapan terhadap Soekarno dan para pemimpin Indonesia itu terdengar oleh Sjafrudin Prawiranegara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran dan sedang berada di Bukittinggi, Sumatra Barat. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, Sjafrudin mengusulkan agar dibentuk pemerintahan darurat untuk meneruskan pemerintah RI, atau lebih dikenal dengan PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia).

Padahal, saat itu Soekarno - Hatta telah mengirimkan telegram yang berbunyi, "Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu Kota Jogjakarta. Djika dalam keadaan pemerintah tidak dapat mendjalankan kewajibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra". dan jika ikhtiar Sjafruddin gagal, maka mandat diberikan kepada Mr. A.A. Maramis untuk mendirikan pemerintah dalam pengasingan di New Delhi, India. Tetapi Sjafruddin sendiri tidak pernah menerima kawat itu. Berbulan-bulan kemudian barulah ia mengetahui tentang adanya mandat tersebut

Sayang, telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi. Meski demikian, ternyata pada saat bersamaan Sjafruddin Prawiranegara telah mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatera Mr. T.M. Hasan menyetujui usul itu "demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara".

Sejumlah tokoh pimpinan Republik yang berada di Sumatera Barat dapat berkumpul di Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. T. M. Hassan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI Mr. A. Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi kawat Presiden Sukarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, maka dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut:

  • Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri ad interim
  • Mr. T. M. Hassan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama,
  • Mr. St. Mohammad Rasjid, Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda,
  • Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman,
  • Ir. M. Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan,
  • Ir. Indracaya, Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.

Keesokan harinya, 23 Desember 1948, Sjafruddin berpidato:

"... Belanda menyerang pada hari Minggu, hari yang biasa dipergunakan oleh kaum Nasrani untuk memuja Tuhan. Mereka menyerang pada saat tidak lama lagi akan merayakan hari Natal Isa AS., hari suci dan perdamaian bagi umat Nasrani. Justru karena itu semuanya, maka lebih-lebih perbuatan Belanda yang mengakui dirinya beragama Kristen, menunjukkan lebih jelas dan nyata sifat dan tabiat bangsa Belanda: Liciknya, curangnya, dan kejamnya.
Karena serangan tiba-tiba itu mereka telah berhasil menawan Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan beberapa pembesar lain. Dengan demikian, mereka menduga menghadapi suatu keadaan negara republik Indonesia yang dapat disamakan dengan Belanda sendiri pada suatu saat negaranya diduduki Jerman dalam Perang Dunia II, ketika rakyatnya kehilangan akal, pemimpinnya putus asa dan negaranya tidak dapat ditolong lagi.
Tetapi kita membuktikan bahwa perhitungan Belanda itu sama sekali meleset. Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Negara RI tidak tergantung kepada Sukarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangatber harga bagi kita. Patah tumbuh hilang berganti.
Kepada seluruh Angkatan Perang Negara RI kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana sajadan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata,menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yangkami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghindarkan tipuan-tipuan musuh."

Sejak itu PDRI menjadi musuh nomor satu Belanda. Tokoh-tokoh PDRI harus bergerak terus sambil menyamar untuk menghindari kejaran dan serangan Belanda.

Mr. TM Hasan yang menjabat sebagai Wakil Ketua PDRI, merangkap Menteri Dalam Negeri,Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, menuturkannya bahwa romobongan mereka kerap tidur di hutan belukar, di pinggir sungai Batanghari, dan sangat kekurangan bahan makanan. Mereka pun harus menggotong radio dan berbagai perlengkapan lain. Kondisi PDRI yang selalu bergerilya keluarmasuk hutan itu diejek radio Belanda sebagai Pemerintah Dalam Rimba Indonesia.

Sjafruddin membalas,

Kami meskipun dalam rimba, masih tetap di wilayah RI, karena itu kami pemerintah yang sah. Tapi, Belanda waktu negerinya diduduki Jerman, pemerintahnya mengungsi ke Inggris. Padahal menurut UUD-nya sendiri menyatakan bahwa kedudukan pemerintah haruslah di wilayah kekuasaannya. Apakah Inggris jadi wilayah kekuasaan Belanda? Yang jelas pemerintah Belanda tidak sah.

Menjelang pertengahan 1949, posisi Belanda makin terjepit. Dunia internasional mengecam agresi militer Belanda. Sedang di Indonesia, pasukannya tidak pernah berhasil berkuasa penuh. Ini memaksa Belanda menghadapi RI di meja perundingan.

Belanda memilih berunding dengan utusan Soekarno-Hatta yang ketika itu statusnya tawanan. Perundingan itu menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Hal ini membuat para tokoh PDRI tidak senang, Jendral Sudirman mengirimkan kawat kepada Sjafruddin, mempertanyakan kelayakan para tahanan maju ke meja perundingan. Tetapi Sjafruddin berpikiran untuk mendukung dilaksanakannya perjanjian Roem-Royen.

Setelah Perjanjian Roem-Royen, M. Natsir meyakinkan Prawiranegara untuk datang ke Jakarta, menyelesaikan dualisme pemerintahan RI, yaitu PDRI yang dipimpinnya, dan Kabinet Hatta, yang secara resmi tidak dibubarkan.

Setelah Persetujuan Roem-Royen ditandatangani, pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Pada sidang tersebut, Pemerintah Hatta mempertanggungjawabkan peristiwa 19 Desember 1948. Wakil Presiden Hatta menjelaskan 3 soal, yakni hal tidak menggabungkan diri kepada kaum gerilya, hal hubungan Bangka dengan luar negeri dan terjadinya Persetujuan Roem-Royen.

Sebab utama Sukarno-Hatta tidak ke luar kota pada tanggal 19 Desember sesuai dengan rencana perang gerilya, adalah berdasarkan pertimbangan militer, karena tidak terjamin cukup pengawalan, sedangkan sepanjang yang diketahui dewasa itu, seluruh kota telah dikepung oleh pasukan payung Belanda. Lagi pula pada saat yang genting itu tidak jelas tempat-tempat yang telah diduduki dan arah-arah yang diikuti oleh musuh. Dalam rapat di istana tanggal 19 Desember 1948 antara lain KSAU Suaryadarma mengajukan peringatan pada pemerintah, bahwa pasukan payung biasanya membunuh semua orang yang dijumpai di jalan-jalan, sehingga jika para beliau itu ke luar haruslah dengan pengawalan senjata yang kuat.

Pada sidang tersebut, secara formal Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya, sehingga dengan demikian, M. Hatta, selain sebagai Wakil Presiden, kembali menjadi Perdana Menteri. Setelah serah terima secara resmi pengembalian Mandat dari PDRI, tanggal 14 Juli, Pemerintah RI menyetujui hasil Persetujuan Roem-Royen, sedangkan KNIP baru mengesahkan persetujuan tersebut tanggal 25 Juli 1949.

Isi Perjanjian Roem Royen :

Perjanjian Roem Royen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Royen) adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Batavia. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan J. H. van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama.

Hasil pertemuan ini adalah:

  • Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya
  • Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar
  • Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
  • Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang

Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:

  • Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 1948
  • Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak
  • Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia

Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke ibukota Yogyakarta. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van Roijen. Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan Sumatera (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua masalah dalam agenda pertemuan, kecuali masalah Papua bagian barat.

Kesepakatan yang diambil dari Perjanjian Renville pada 17 Februari 1948 adalah sebagai berikut :
  1. Disetujuinya pelaksanaan gencatan senjata
  2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda
  3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur ke daerah Indonesia di Yogyakarta
Republik Indonesia Serikat

Republik Indonesia Serikat, disingkat RIS, adalah suatu negara federasi yang berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB.

Republik Indonesia Serikat terdiri beberapa negara bagian, yaitu:

  1. Republik Indonesia
  2. Negara Indonesia Timur
  3. Negara Pasundan
  4. Negara Jawa Timur
  5. Negara Madura
  6. Negara Sumatra Timur
  7. Negara Sumatra Selatan
Di samping itu, ada juga negara-negara yang berdiri sendiri dan tak tergabung dalam federasi, yaitu:
  1. Jawa Tengah
  2. Kalimantan Barat
  3. Dayak Besar
  4. Daerah banjar
  5. Kalimantan Tenggara
  6. Kalimantan Timur (tidak temasuk bekas wilayah Kesultanan Pasir)
  7. Bangka
  8. Belitung
  9. Riau
Republik Indonesia Serikat dibubarkan pada 17 Agustus 1950.

Republik Indonesia Serikat memiliki konstitusi yaitu Konstitusi RIS. Piagam Konstitusi RIS ditandatangani oleh para Pimpinan Negara/Daerah dari 16 Negara/Daerah Bagian RIS, yaitu
  1. Mr. Susanto Tirtoprodjo dari Negara Republik Indonesia menurut perjanjian Renville.
  2. Sultan Hamid II dari Daerah Istimewa Kalimantan Barat
  3. Ide Anak Agoeng Gde Agoeng dari Negara Indonesia Timur
  4. R.A.A. Tjakraningrat dari Negara Madura
  5. Mohammad Hanafiah dari Daerah Banjar
  6. Mohammad Jusuf Rasidi dari Bangka
  7. K.A. Mohammad Jusuf dari Belitung
  8. Muhran bin Haji Ali dari Dayak Besar
  9. Dr. R.V. Sudjito dari Jawa Tengah
  10. Raden Soedarmo dari Negara Jawa Timur
  11. M. Jamani dari Kalimantan Tenggara
  12. A.P. Sosronegoro dari Kalimantan Timur
  13. Mr. Djumhana Wiriatmadja dari Negara Pasundan
  14. Radja Mohammad dari Riau
  15. Abdul Malik dari Negara Sumatra Selatan
  16. Radja Kaliamsyah Sinaga dari Negara Sumatra Timur
Karena Soekarno dan Moh. Hatta telah ditetapkan menjadi Presiden dan Perdana Menteri RIS, maka berarti terjadi kekosongan pimpinan pada Republik Indonesia.

Mr. Assaat adalah Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI. Peran Assaat sangat penting. Kalau tidak ada RI saat itu, berarti ada kekosongan dalam sejarah Indonesia bahwa RI pernah menghilang dan kemudian muncul lagi. Namun, dengan mengakui keberadaan RI dalam RIS yang hanya beberapa bulan, tampak bahwa sejarah Republik Indonesia sejak tahun 1945 tidak pernah terputus sampai kini. Kita ketahui bahwa kemudian RIS melebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 15 Agustus 1950. Itu berarti, Assaat pernah memangku jabatan Presiden RI sekitar sembilan bulan.

Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.

Ini berarti Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai presiden ke 2 pada saat pemerintahan darurat RI dan Mr. Assaat sebagai presiden ke 3 pada saat pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS).

Presiden ke 4 adalah H.M. Soeharto, yang secara resmi menjadi presiden RI pada tahun 1968 dan ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.

Presiden B.J. Habibie sempat menjalankan roda pemerintahan sejak 21 Mei 1998 dan berakhir 20 Oktober 1999. Dengan menjabat selama 2 bulan dan 7 hari sebagai wakil presiden, dan 1 tahun dan 5 bulan sebagai presiden, Habibie merupakan Wakil Presiden dan juga Presiden Indonesia dengan masa jabatan terpendek. Pada saat menjabat sebagai Presiden, B.J. Habibie dihadapkan oleh masalah referendum provinsi Timor Timur (Sekarang Timor Leste), ia mengajukan hal yang cukup menggemparkan publik saat itu, yaitu mengadakan jajak pendapat kepada warga Timor Timur untuk memilih merdeka atau masih tetap menjadi bagian dari Indonesia. Namun akhirnya ia gagal mempertahankan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan lepasnya Timor Timur pada tanggal 30 Agustus 1999.

Jabatan B.J. Habibie digantikan oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) setelah terpilih sebagai presiden RI pada 20 Oktober 1999 oleh MPR hasil pemilu 1999. Masa kepresidenan yang dimulai pada 20 Oktober 1999 berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR.
Kepresidenan Gus Dur terkenal akan perjalanan jarak jauhnya, termasuk ke tempat-tempat kontroversial. Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Cina.
Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan keluar negeri lainnya ke Swiss untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Wahid melakukan perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur mengunjungi Timor Leste. Di bulan April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali melewati Kota Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan, dan Mesir sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.
Wahid juga mengunjungi Irian Jaya dan Aceh, provinsi Indonesia yang memiliki banyak gerakan separatis, yang mengundang kontroversi. Gusdur juga menimbulkan kontroversi dengan kunjungannya ke Israel, negara yang tidak disukai banyak orang Indonesia.

Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri menggantikan jabatan Gusdur dari 23 Juli 2001 - 20 Oktober 2004 Megawati Soekarnoputri merupakan presiden wanita pertama di Indonesia. Namanya cukup dikenal dengan Megawati Soekarnoputri. Pada 20 September 2004, ia kalah dalam tahap kedua pemilu presiden 2004. Ia menjadi presiden setelah MPR (Ketua Prof. Amien Rais) mengadakan Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Sidang Istimewa MPR diadakan dalam menanggapi langkah Presiden Abdurrahman Wahid yang membekukan lembaga MPR/DPR dan Partai Golkar. Megawati dilantik pada 23 Juli 2001 dan Hamzah Haz sebagai wakil presiden RI. Sebelumnya dari tahun 1999-2001, Megawati adalah Wakil Presiden RI. Namun, yang sangat disayangkan pada saat pemerintahan Megawati Soekarnoputri terjadi ketegangan antara Indonesia dan Malaysia terhadap wilayah pulau Sipadan dan Ligitan. Permasalahan tersebut sampai kepada Mahkamah Internasional dan Sipadan dan Ligitan sah menjadi milik Malaysia.

Presiden yang sedang menjabat saat ini adalah DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan didampingi oleh Drs. H. M. Jusuf Kalla. Pasangan SBY-JK terpilih dalam pemilihan umum tahun 2004 yang merupakan pemilihan umum presiden Indonesia yang pertama yang diadakan dengan cara pemilihan secara langsung oleh rakyat. SBY menang dalam pemilu presiden September 2004 melalui dua tahapan pemilu presiden atas kandidat Presiden Megawati Soekarnoputri. Ia mulai menjabat pada 20 Oktober 2004 sampai dengan sekarang bersama Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden. SBY juga merupakan Presiden Indonesia yang pertama yang menyelesaikan masa kepresidenan 5 tahun sejak era reformasi dimulai. Pada pemerintahan SBY-JK, banyak terjadi fenomena alam seperti Tsunami di Aceh 26 Desember 2006 dipastikan mencapai 150.000 jiwa tewas. Gempa bumi yang terjadi di Jogjakarta pada 27 Mei 2006 dengan kekuatan 5,9 skala richter. United States Geological Survey melaporkan 6,2 pada skala Richter. Korban tewas menurut laporan terakhir dari Departemen Sosial Republik Indonesia pada 1 Juni 2006 pukul 07:00 WIB, berjumlah 6.234 orang[2] dengan rincian: Yogyakarta 165 jiwa, Kulon Progo 26 jiwa, Gunung Kidul 69 jiwa, Sleman 326 jiwa, Klaten 1.668 jiwa, Magelang 3 jiwa, Boyolali 3 jiwa, Purworejo 5 jiwa, Sukoharjo 1 jiwa dan korban terbanyak di Bantul 3.968 jiwa. Sementara korban luka berat sebanyak 33.231 jiwa dan 12.917 lainnya menderita luka ringan. Kabupaten Bantul merupakan daerah yang paling parah terkena bencana. Informasi menyebutkan sebanyak 7.057 rumah di daerah ini rubuh.
Dan masih banyak lagi bencana alam yang terjadi di Indonesia pada pemerintahan SBY-JK. dan pada tahun 2009 ini SBY dan JK bertarung untuk menuju Kursi nomor satu di Indonesia periode 2009 - 2014 bersama dengan kandidat lainya yaitu mantan presiden Ri Megawati Soekarnoputri.

Jika kita menghitung-hitung jumlah presiden RI berjumlah 8, namun ini hanya sejarah yang penulis sendiri bukanlah ahli sejarah. Sumber : www.id.wikipedia.com, www.tokohindoneisa.com